Minggu, 08 April 2012

Makalah Efusi Pleura

                                                              EFUSI PLEURA

                                               

                                                            Disusun Oleh:
                                                         1. Fitri Wulandari
                                                         2. Hengky Firmansyah
                                                         3. Laily Azhariyah. F
                                                         4. Lidiawati
                                                         5. Achmad Bashori



                                    PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
                               FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS GRESIK
                                                                2012  


                      

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas keperawatan KMB 1 dengan judul “EFUSI PLEURA“ yang merupakan salah satu persyaratan akademik dalam pelaksanaan pendidikan PSIK Universitas Gresik sudah terselesaikan.
Dalam penyusunan tugas ini kami berusaha semaksimal mungkin namun kemampuan kami sangat terbatas, sehingga penyusunan tugas ini jauh dari sempurna, dan kami menyadari akan segala kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas makalah ini dan kesempatan penulis selanjutnya.
Kami mengucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.



                                                                                              Gresik,  Januari 2012

                                                                                                    Tim  Penulis

                 


DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................4
1.1    Latar belakang....................................................................................................4
1.2    Rumusan masalah................................................................................................5
1.3    Tujuan penelitian..................................................................................................5
BAB 2  TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
       2.1  Pengertian......................................................................................................6
       2.2  Etiologi...........................................................................................................6
       2.3  Tanda dan Gejala............................................................................................7
       2.4  Patofisiologi....................................................................................................7
       2.5  Pemeriksaan diagnostik...................................................................................8
       2.6  Penatalaksanaan medis....................................................................................9
BAB 3  ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................10
      3.1  Pengkajian....................................................................................................10
      3.2  Diagnosa keperawatan..................................................................................11     
BAB 4  PENUTUPAN.............................................................................................16
DAFTAR  PUSTAKA..............................................................................................17

 
                                                                 BAB 1
                                                        PENDAHULUAN


1.1 latar Belakang
Efusi pleura ganas (EPG) kini telah menjadi suatu permasalahan klinis yang umum terjadi pada penderita kanker.EPG dapat disebabkan oleh hampir semua jenis keganasan, dimana hampir sepertiganya karena kanker paru. Saat ini kanker paru merupakan penyebab terbanyak EPG sebanyak 36% (7,2% dari seluruh kasus efusi) dari seluruh kasus EPG. EPG dapat menimbulkan gejala awal pada kanker yang belum terdiagnosa, atau sebagai komplikasi lebih lanjut pada pasien yang telah didiagnosa mengidap kanker, ataupun sebagai manifestasi pertama kekambuhan kanker sesudah menjalani pengobatan.Bila dijumpai diagnosis EPG berarti menandakan buruknya prognosis.Penderita kanker yang disertai EPG memiliki daya tahan hidup rata-rata kurang dari 6 bulan sejak terdiagnosa sebagai EPG. Oleh karena itu semakin cepat suatu efusi pleura tersebut dapat dibedakan apakah ganas atau jinak tentunya akan sangat membantu dalam menentukan penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit yang mendasarinya dan turut meningkatkan prognosis.                                         Di Indonesia, pemeriksaan CEA cairan pleura untuk menunjang diagnosisEPG karena kanker paru hanya pernah sekali dilakukan di RS.Dr.Sutomo Surabaya oleh Irawan dkk (2002) dengan jumlah sampel sebanyak 15 orang. Irawan dkk melaporkan bahwa kadar CEA cairan pleura diatas 10 ng/ml sebagai kriteria skrining optimal untuk menentukan EPG karena kanker paru dengansensitivitas 77,8%; 63,6% nilai prediksi positif; 50% nilai prediksi negatif; dan60% keakuratan, sedangkan spesifisitas 50% untuk CEA cairan pleura diatas 20 ng/ml. Hal yang menarik bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada perbandingan hasil sitologi dengan kadar CEA cairan pleura, sehingga kadar CEA cairan pleura dapat digunakan sebagai sarana diagnostik tambahan pada kasus EPG karena kanker paru. Disadari bahwa sensitivitas dan spesifisitas kadar CEA cairan pleura terhadap diagnosis suatu EPG cukup bervariasi dari berbagai laporan hasil penelitian yang lebih banyak dilakukan di Amerika dan Eropa. Namun di Medan, penelitian terhadap sensitivitas kadar CEA cairan pleura karena kanker paru tersebut belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sensitivitas pemeriksaan CEA cairan pleura, yang nantinya dapat menjadi sarana penunjang diagnostik non-invasif tambahan yang lebih cepat, mudah dan nyaman untuk pasien terutama pada kasus EPG dengan hasil sitologi/histologi negatif.
1.2Rumusan Masalah            Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti apakah pemeriksaan CEA cairan pleura dapat digunakan sebagai sarana penunjang diagnostik untuk menentukan suatu EPG karena kanker paru.

1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui peranan pemeriksaan CEA cairan pleura dalam menentukan
suatu EPG karena kanker paru.
2. Tujuan khusus
Mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan CEA cairan pleuradalam menentukan suatu EPG karena kanker paru.stadium kanker paru tanpa harus menjalani prosedur pemeriksaan dengan tindakan invasive yang sering menemui kendala untuk dilakukan pada pasien.
                                         


  
                                                                   BAB 2
                                                   TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Pengertian  
                                  Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000)                Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).                                Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C Sylvia, 1995)

2.2    Etiologi
1.Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.           
2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.                                        Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :           

1. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
2. Penurunan tekanan osmotic koloid darah
3. Peningkatan tekanan negative intrapleural
4. Adanya inflamasi atau neoplastik pleura

2.3Tanda dan Gejala

1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
5. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

2.4    Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis.Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis.Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung).Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena
tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih.Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.

2.5    Pemeriksaan Diagnostik
1.    Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
2.    Ultrasonografi
3.    Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
4.     Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH.
5.    Biopsi pleura mungkin juga dilakukan

2.6    Penatalaksanaan Medis
1.    Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
2.    Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
3.    Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
4.    Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
5.    Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.







                                                                  BAB 3
                                                 ASUHAN KEPERAWATAN



3.1    Pengkajian
1.    Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, umur,pendidikan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.
2.    Keluhan utama
Adanya penumpukan cairan di rongga pleura.
3.    Riwayat penyakit dahulu.
Klien pernah bedah dada/trauma,    .
4.    Pengkajian fisik
5.    Keadaan umum: baik
6.    Kesadaran compos mentis.
Tanda vital : TD : 120/90 mmHg ( normal), Nadi : 60-100 x/menit ( normal), Suhu : 35,5-37 °C   , RR : 18-24 x/menit (normal).           
7.    Aktifitas/istirahat                                                                                                     Gejala : dispneu dengan aktifitas ataupun istirahat Sirkulasi        Tanda : Takikardi, disritmia, irama jantung gallop, hipertensi/hipotensi, DVJ
8.    Integritas                                                                                                             Tanda : ketakutan, gelisah
9.    Makanan/cairanAdanya pemasangan IV vena sentral/ infus
10.    nyeri/kenyamanan
Gejala tergantung ukuran/area terlibat : Nyeri yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi
11.    Pernapasan
Gejala : K esulitan bernapas, Batuk, riwayat bedah dada/trauma,
Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi interkostal, Bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada sisi terlibat), Perkusi dada : hiperresonan diarea terisi udara dan bunyi pekak diarea terisi cairan
Observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau kemps, penurunan pengembangan (area sakit). Kulit : pucat, sianosis,berkeringat, krepitasi subkutan

3.2     Diagnosa Keperawatan
1.    Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan), gangguan musculoskeletal, nyeri/ansietas, proses inflamasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh : dispneu, takipneu, perubahan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori, gangguan pengembangan dada, sianosis, GDA taknormal.
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria hasil :
1.    Menunjukkan pola napas normal/efektif dng GDA normal
2.    Bebas sianosis dan tanda gejala hipoksia
Intervensi :
1.    Identifikasi etiologi atau factor pencetus
2.    Evaluasi fungsi pernapasan (napas cepat, sianosis, perubahan tanda vital)
3.    Auskultasi bunyi napas
4.    Catat pengembangan dada dan posisi trakea, kaji fremitus.
5.     Pertahankan posisi nyaman biasanya peninggian kepala tempat tidur
6.    Bila selang dada dipasang :
-    periksa pengontrol penghisap, batas cairan
-    Observasi gelembung udara botol penampung
-    Klem selang pada bagian bawah unit drainase bila terjadi kebocoran
-    Awasi pasang surutnya air penampung
-    Catat karakter/jumlah drainase selang dada.
-    Berikan oksigen melalui kanul/masker
2.    Nyeri dada b.d faktor-faktor biologis (trauma jaringan) dan faktor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
1.    Pasien mengatakan nyeri berkurang  atau dapat dikontrol
2.    Pasien tampak tenang
Intervensi :
1.    Kaji terhadap adanya nyeri, skala dan intensitas nyeri
2.     Ajarkan pada klien tentang manajemen nyeri dengan distraksi dan relaksasi
3.    Amankan selang dada untuk membatasi gerakan dan menghindari iritasi
4.    Kaji keefektifan tindakan penurunan rasa nyeri
5.    Berikan analgetik sesuai indikasi
3.    Resiko tinggi trauma/henti napas b.d proses cidera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan
Tujuan : tidak terjadi trauma atau henti napas
Kriteria hasil :
1.    Mengenal kebutuhan/mencari bantuan untuk mencegah komplikasi
2.    Memperbaiki/menghindari lingkungan dan bahaya fisik
Intervensi :
1.    Kaji dengan pasien tujuan/fungsi unit drainase, catat gambaran keamanan
2.    Amankan unit drainase pada tempat tidur dengan area lalu lintas rendah
3.     Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit, ganti ulang kasa penutup steril sesuai kebutuhan
4.    Anjurkan pasien menghindari berbaring/menarik selang
5.    Observasi tanda distress pernapasan bila kateter torak lepas/tercabut.
4.    Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
Tujuan : Mengetahui tentang kondisinya dan aturan pengobatan
Kriteria hasil :

1.    Menyatakan pemahaman tentang masalahnya
2.    Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk mencegah terulangnya masalah
Intervensi :
1.    Kaji pemahaman klien tentang masalahnya
2.    Identifikasi  kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang
3.    Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, nutrisi, istirahat, latihan
4.    Berikan informasi tentang apa yang ditanyakan klien
5.    Berikan reinforcement atas usaha yang telah dilakukan klien .

















                                                           BAB  4
                                      SIMPULAN DAN SARAN


`4.1 kesimpulan
             Efusi pleura merupakan pengumpulan cairan dalam spasium pleural yang terletak di antara permukaan viseral dan parietal. Efusi pleura adalah proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.   Efusi pleura mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongestif, tuberkulosis, pneumoniainfeksi paru (terutama virus), sindrom nefrotik, penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplasik. Karsinoma bronkogenik adalah malignasi yang paling umum berkaitan dengan efusi pleura.  Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi pleura yang luas akan menyebabkan sesak napas.

4.2 Saran
               Dengan di susunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Di sampin itu ami juga mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sehingga kami  bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami selanjutnya.



                                     
                                               DAFTAR PUSTAKA

Baughman C Diane, Keperawatan medical bedah, Jakrta, EGC, 2000.
Doenges E Mailyn, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaandan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta, EGC. 1999
Hudak,Carolyn M. Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol.1, Jakarta.EGC. 1997.
Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2.Media Aesculapius.FKUI.1982.
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta. EGC. 1995.
Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed8.Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.
Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC, 1997.
Susan Martin Tucker, Standar perawatan Pasien: proses keperawatan, diagnosis, dan evaluasi. Ed5. Jakarta EGC. 1998.

Penyakit Difteri

Sebelumnya saya tidak tahu, apa itu penyakit difteri. Yang saya tahu, difteri tergolong penyakit menular terutama terhadap anak-anak, bahkan penyakit ini bisa menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak. Meskipun penyakit ini sudah jarang terjadi pada saat ini, bukan berarti kita tidak mewaspadainya.  Agar kita dapat menghindar dari penyakit ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui secara lengkap apa itu penyakit difteri, apa penyebabnya dan bagaimana menanganinya. Semoga catatan ini  memberikan manfaat untuk Anda semua.
Difteri, secara garis besar adalah penyakit menular yang ditandai dengan sakit pada kerongkongan. Selain itu juga dapat membuat penderita mengalami sakit pada saat menelan, badannya akan terasa lemah. Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Kuman bakteri yang ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri ini, seringkali menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring. Selain menyerang tonsil, faring, atau laring, adakalanya kuman ini menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.


Gejala Difteri
Gejala penyakit ini mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi. Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan melepaskan toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita menjadi sangat lemah dan sakit.Gejala-gejala lain yang muncul, antara lain:
•    Menelan sakit, batuk keras dan suara menjadi parau
•    Mual dan muntah-muntah
•    Demam, menggigil dan sakit kepala
•    Denyut jantung meningkat
•    Terbentuk selaput/membran yang tebal, berbintik, berwarna hijau kecoklatan atau keabu-abuan di kerongkongan sehingga sukar sekali untuk menelan dan terasa sakit.
•    Bila difteri bertambah parah, tenggorokan menjadi bengkak sehingga menyebabkan penderita menjadi sesak nafas, bahkan yang lebih membahayakan lagi, dapat pula menutup sama sekali jalan pernafasan.
•    Kelenjar akan membesar dan nyeri di sekitar leher.
•    Kadang-kadang telinga menjadi terasa sakit akibat peradangan
•    Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung sehingga penderita dapat meninggal secara mendadak.
Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman difteri. Jika tidak diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat menyebabkan reaksi peradangan pada jaringan saluran napas bagian atas sehingga sel-sel jaringan dapat mati.

Sel-sel jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk suatu membran atau lapisan yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan. Membran atau lapisan ini berwarna abu-abu kecoklatan, dan biasanya dapat terlihat. Gejalanya anak menjadi sulit bernapas. Jika lapisan terus terbentuk dan menutup saluran napas yang lebih bawah akan menyebabkan anak tidak dapat bernapas. Akibatnya sangat fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak ditangani dengan segera.

Racun yang sama juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan susunan saraf, biasanya terjadi setelah 2-4 minggu terinfeksi dengan kuman difteri. Kematian juga sering terjadi karena jantung menjadi rusak.

Serangan berbahaya pada periode inkubasi 1 sampai dengan 5 hari, jarang ditemui lebih lama. Dapat menyebabkan infeksi nasopharynx yang menyebabkan kesulitan bernapas dan kematian. Penyebab utamanya adalah radang pada membran saluran pernapasan bagian atas, biasanya pharynx tetapi kadang2 posterior nasal passages, larynx dan trakea, ditambah kerusakan menyeluruh ke seluruh organ termasuk myocardium, sistem saraf, ginjal yang disebabkan exotosin (Plotkins) organisme.
Ketika difteri menyerang tenggorokan dan tonsil, gejala awalnya adalah radang tenggorokan, kehilangan nafsu makan, dan demam. Dalam waktu 2-3 hari, lapisan putih atau aba-abu ditemukan di tenggorokan atau tonsil. Lapisan ini menempel pada langit-langit dari tenggorokan dan dapat berdarah. Jika terdapat pendarahan, lapisan berubah menjai aba-abu kehijauan atau hitam. Penderita difteri biasanya tidak demam panas tapi dapat sakit leher dan sesak napas.
Diagnosis
Diagnosis diambil berdasarkan gejala dan ditemukannya membran. Tak jarang pula dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG.
Pencegahan dan Pengobatan
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi tidak akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Selain itu penyakit difteri dapat dicegah dengan cara selalu menjaga kebersihan baik diri maupun lingkungan. Karena penyakit menular seperti difteri ini paling mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Tidak hanya itu, penting pula menjaga pola makan yang sehat.
Sedangkan pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Diolah dari berbagai sumber.